SIAPA yang tidak tahu apa pun, tidak mencintai apa pun. Siapa yang tidak melakukan apa pun, tidak memahami apa pun. Barangsiapa tidak memahami apa pun, tidak memiliki erti.
Sebagai makhluk, manusia memerlukan berbagai macam reaksi. Entah antara dirinya dengan manusia lain, dengan lingkungan, dunia luas, mahu pun dengan Tuhan yang menciptakannya. Namun, pada mulanya, manusia hadir di bumi dalam kesendirian.
Ia pun sesuatu yang unik, keadaan yang sebenarnya membuat ia terpencil. Untuk itulah ia secara alamiah sentiasa berusaha menciptakan hubungan.
Salah satu motif, juga makna - mungkin yang terpenting, dalam berbagai hubungan itu adalah apa yang kita kenal dengan: cinta. Semacam kandungan perasaan yang timbul dari kegelisahan akan keterpisahan atau keterpencilan.
Bagi manusia dewasa, cinta merupakan kewujudan penyatuan yang esensial, yang memberi kemungkinan manusia menemukan orang lain dalam dirinya, walaupun individualitinya tetap terjaga. Penyatuan tanpa peleburan, di mana sesungguhnya bukan situasi saling memiliki yang terjadi, tetapi keberadaan yang sejajar di antara keduanya.
Konsep ”saling memiliki” menyebabkan hilangnya objektifnya manusia, lantaran pemprosesannya sebagai benda, objek yang pasif. Sementara itu, cinta tidak harus melucuti posisi manusia sebagai subjek, dengan kapasiti yang sama baik dalam memberi mahupun menerima.
Seperti dinyatakan
Martin Buber, manusia mempunyai dua reflaksi fundamental, iaitu reflaksi dengan benda (Ich-Es) serta selari dengan sesama manusia dan Tuhan (Ich-Du). Maka ketika manusia berusaha memiliki sesamanya, di sana tidak ada hubungan Aku-Engkau, kerana yang ada adalah hubungan Aku-Itu. Di mana dunia yang dicitrakan, adalah dunia benda-benda, sesuatu yang dibendakan lewat semacam bentuk reflaksi yang dominati.
Dalam konteks ini,
Martin Buber membawa istilah hubungan (erfahrung) yang dikhususkan bagi relasi antara manusia dengan manusia, dengan dialog sebagai modal komunikasi utamanya. Sedang hubungan antara ”aku” (manusia) dengan benda senantiasa menjadikan subjek itu merasa sepi, kerana lenyapnya kesetaraan. Kerana pada dasarnya keberadaan ”Aku” ditentukan oleh adanya ”engkau” dalam ”Aku”.
Cinta destruktif
Kesunyian manusia tetap akan terjadi apabila tidak ada pengakuan dalam relasi di atas. Mungkin berbeza dengan pendekatan
Marxis, alienasi semacam ini terjadi bukan kerana manusia kehilangan dirinya, tetapi lebih pada hilangnya ”engkau”.
Begitu pun dalam relasi yang terbentuk kerana cinta, kehampaan dan kesendirian terjadi bukan kerana lenyapnya obyek cinta. Semacam objektifnya yang terjadi saat kita menyatakan telah ”jatuh cinta”. Sejatinya cinta tidak pernah jatuh, sebab cinta yang jatuh memiliki bawaan yang dominati, dan kerananya memiliki kecenderungan yang destruktif.
Cinta adalah
standing in (bertahan di dalam). Dan kerana cinta adalah tindakan, maka pertama-tama cinta adalah memberi, dalam erti yang produktif. Maka cinta yang hampa adalah cinta yang hanya memberi tanpa menerima.
Sementara itu, cinta yang bermakna memiliki, maka yang terjadi adalah semacam objektif pasif. Cinta pun tak berbalas, dan penderitaan eksistensial pun terjadi. Seperti dikatakan Marcell, manusia yang memiliki pada dasarnya dimiliki, dan di sanalah penderitaan itu berada. Dan manusia yang memiliki cinta seperti itu hanya akan menjadi obyek dari penderitaannya.
Sedangkan apabila cinta dimaknai secara benar, maka yang akan terwujud justru integriti. Ia akan tetap menjadi dirinya sendiri, bukan satu peribadi yang sepi. Walaupun derita masih ada, ia menjadi subjek yang aktif, sedar dan berproses. Sesuatu yang terus ”menjadi”, kata Erich Fromm.
Dari hampa ke TuhanBila kehampaan cinta antara manusia tetap terjadi, seseorang mengalami apa yang disebut dengan ”kembali pada asal”. Awal dari kesunyian manusia di dunia. Sehingga seseorang pun mulai terdesak untuk mencari ketenangan atau hubungan-hubungan yang baru. Mencari
engku-engkau yang baru, yang dianggapnya memiliki kemampuan (saling) memberi (dengannya). Pada titik ini, cinta dapat menjadi sebuah aksi pencarian yang bersinambungan.
Inilah inti dari pencarian keber”
ada”an manusia dalam dunia. Mencari integriti diri yang sesungguhnya. Kerananya, betapa pun hampa cinta itu, ia tetap membuat manusia bersikap produktif. Produktif dalam mencari dan memproduksi cinta yang mampu mengatasi kesendiriannya sebagai manusia. Di sini, muncullah Kierkegaard, yang menawarkan satu ketenangan lain yang khas: ketenangan manusia dengan Tuhannya.
Bagi Kierkegaard, hubungan manusia dengan Tuhanlah yang sejati dibutuhkan, bahkan tak terelakkan. Kerana dalam hubungan ini, manusia sentiasa menemukan dirinya sebagai subjek. Subjek yang aktif. Aktif dalam menyempurnakan hubungan, menyempurnakan cinta, menyempurnakan dirinya.
Mungkin inilah makna terdalam dari hubungan cinta pada satu hal yang ”Maha Sempurna”: memberi peluang terbaik bagi manusia mewujudkan semua kesempurnaan.
Akan tetapi, menariknya, sebagai makhluk unik, manusia juga adalah makhluk yang kompleks. Makhluk dengan dimensi sosial, biologi, dan spiritual sekaligus. Yang dengan ketiga dimensi itu ia mencari cintanya sendiri-sendiri. Sebuah pencarian kompleks yang tak terhindar membuat manusia selalu berada dalam gejola. Gejola yang juga tak lain representasi dari kegelisahan purbanya itu.
Keadaan itu pulalah yang membuat hidup dan manusia itu sendiri sentiasa menjadi fenomena yang menarik. Pencarian cinta, yang kadang bergerak di antara satu kehampaan ke kehampaan lainnya, membuat manusia seharusnya kian matang, kian dewasa. Kian mampu, bukan hanya memaknakan, tetapi juga mengatasi kehampaannya itu.
Dan beruntunglah yang berproses ”menjadi” seperti itu. Pemahaman yang graduatif-promotif tentang cinta pasti akan berdampak pada fungsinya sebagai manusia, sebagai makhluk sosial, sebagai warga dari sebuah semesta. Pada puncak dari pencarian, peran dan fungsinya itulah, kebahagiaan manusia terletak, terwujud juga secara graduatif-promotif.
Betapa bersyukurnya, ia manusia, yang berhasil mencapai tingkat-tingkat kebahagiaan itu. Dengan selalu, memaknakan kepada kehampaan dan penderitaan cinta, sebagai modal utama dari eksistensi mereka. Eksistensi yang dengan setia selalu mendekati eksistensi lain yang ”sempurna”. kerana di situlah sebenarnya menetap, cinta yang juga sempurna.